Home » , » Bertemu Genderuwo di Jalan Setapak Dekat Rumah

Bertemu Genderuwo di Jalan Setapak Dekat Rumah

Written By Mimin on Saturday, August 24, 2013 | 1:38 AM

"Pah, bangun," kata istriku sambil menggoyang-goyangkan tubuhku.

Aku mengucek-ngucek mata yang masih mengantuk. Samar-samar kulihat wajah istriku seperti sedang menahan sesuatu. Aku bertanya padanya, “Kenapa, Mah?”

“Beliin aku obat sakit perut gih. Dari tadi aku buang-buang air terus nih,” kata istriku.

Kulihat jam dinding masih menunjukkan pukul 2 pagi. “Jam segini disuruh beli obat? Beli dimana?” aku melongo.

“Terserah Papah deh, mau beli dimana. Yang penting dapet! Udah cepet sana.” Terdengar suara ‘angin’ dilepaskan. “Aduh…” istriku mengeluh memegangi perutnya, “Sakit lagi nih perut.” Dengan tergopoh-gopoh, istriku pergi ke kamar mandi lagi untuk melakukan ‘pelepasan’.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Rasa kantuk menyerangku kembali. Bukannya beranjak dari kasur. Aku malah tidur lagi—mencoba menyambung mimpi yang masih tersisa.

Dan sepuluh menit pun berlalu…

Istriku menggoyang-goyangkan tubuhku kembali. “Pahhh!!!”

Aku menggeliat.

“Ishh… belum jalan juga? Tega nian Papah sama aku. Masak aku harus beli obat sendiri? Kan perempuan kalau keliaran malam-malam nggak bagus, kalau ada yang nggodain gimana?”

Ck, masih sempat-sempatnya dia bercanda.

Aku bangkit—dengan terpaksa. Sebelum keluar, aku mencuci wajahku supaya terlihat lebih segar.

***

Hawa malam terasa dingin menusuk kulit. Di jalan, aku bertemu tetanggaku yang baru pulang dari meronda. Dia bertanya, "Mau kemana?"

"Beli obat," sahutku.

"Siapa yang butuh obat?"

"Itu Rani. Sakit perut katanya."

"Oh, beli obat anu atau obat inu saja, Pak. Manjur. Itu beli saja di warung sono."

Aku pun menuruti kata-kata tetanggaku itu dengan menuju warung yang dimaksud. Untuk sampai ke warung itu ada dua jalan. Jalan pertama adalah jalan umum yang terang sering dilalui kendaraan. Sedangkan, jalan kedua adalah jalan setapak yang hanya muat satu motor saja—ditambah jalan ini kalau malam gelapnya bukan main, karena belum ada rumah penduduk. Tapi, untuk sampai ke warung jika melalui jalan pertama, jalannya memutar cukup jauh. Sedangkan, lewat jalan setapak tidak perlu memutar.

Aku memilih jalan setapak yang gelap itu. Toh, setiap hari aku melewatinya, baik berangkat maupun pulang kerja. Kucampakkan pikiran horor dari cerita seram yang selama ini sering kudengar dari orang-orang bahwa jalan setapak itu berpenunggu, yaitu makhluk astral yang biasa disebut GENDERUWO!

Sewaktu berjalan di jalan setapak itu, tidak ada genderuwo di sana—atau makhluk astral lainnya. Perasaanku plong saat melihat warung yang dimaksud tetanggaku masih buka. Dengan cepat aku membeli beberapa obat sakit perut.

Begitu mau pulang, dan aku sampai di depan jalan setapak itu perasaan tidak enak mulai menjalariku. Namun, karena pada perjalanan pertama tidak ada apa-apa, aku berjalan saja biasa. Tidak memikirkan apa-apa.

Pada awalnya, memang tidak ada apa-apa. Tapi, begitu sampai di tengah-tengah jalan setapak itu, aku mendengar suara keras dentuman di tanah. Jlug. Sontak, aku mencari-cari asal suara itu. Ternyata sebuah benda sebesar kucing dewasa jatuh di hadapanku. Aku diam. Bau singkong bakar menguar di udara menembus indera penciumanku.

Dari benda itu kulihat dua cahaya merah serupa mata. Dan benda itu makin lama makin membesar hingga setinggi pohon kelapa. Aku melongo. Terdiam tanpa kata.

‘Inikah sosok Genderuwo yang sering diceritakan tetanggaku?’

Rasa takut mulai menjalari hatiku, bersicepat dengan degub jantung yang kian memacu. Apalagi, saat Genderuwo itu mulai berjalan ke arahku. Jlem… jlem… suara langkahnya terdengar di telingaku. Aku ingin mengucapkan astagfirullah, sayangnya, yang keluar dari mulutku hanya suara akh... akh... akh... Dan, Genderuwo itu terus mendekati aku. Aku pejamkan mata. Dan… dia lewat menembus tubuhku. Aku lemas dan cemas, tapi tidak tinggal diam dan langsung mengambil langkah seribu sekuatku, hingga sampai di jalan menuju rumah kontrakanku. Dengan napas tersengal-sengal, aku mengelus dada dan berucap syukur aku tidak pingsan.[]

0 comments:

Post a Comment