Home » » Milikku, Selamanya

Milikku, Selamanya

Written By Mimin on Monday, August 12, 2013 | 8:34 AM

Teeettt… suara bel masuk terdengar bertalu-talu ke seluruh penjuru sekolah. Menandakan jam-jam pelajaran membosankan akan segera dimulai.

Ilustrasi Patung Wax
credit: cargocollective.com
Aku mendecak. Pasalnya, lamunanku pada seorang cowok ganteng yang berdiri mematung di depan kantor guru terganggu. Sambil berjalan masuk ke kelas, aku berpikir, siapa cowok ganteng itu? Sepertinya baru pertama kali ini kulihat dia. Siapa dia?

Pertanyaan itu terjawab bersamaan dengan datangnya Pak Salimi, yang mengampu mata pelajaran Matematika ke kelas. Ternyata cowok ganteng yang kulihat berdiri di depan kantor itu adalah siswa baru, yang akan menjadi penghuni kelasku.

“Selamat pagi anak-anak,” sapa Pak Salimi dengan senyuman, “Hmm… kali ini, sebelum memulai pelajaran, Bapak mau kasih tahu dulu kalau kita punya temen baru loh. Nah, Joon, silakan perkenalkan dirimu pada temen-temen di sini.”

Cowok ganteng yang rambutnya setipe dengan Aldi Taher tersebut, melangkahkan kakinya satu langkah ke depan. Lalu, dia memendarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas dengan wibawa dan kharisma yang tidak pernah kulihat pada teman-teman cowok satu sekolah lainnya.

“Halo, perkenalkan namaku: Joon. Aku murid pindahan SMA Pelita Hati 13 di Bandung,” kata Joon sambil tersenyum ramah. Senyum paling menawan yang pernah kulihat. Sepertinya aku jatuh hati padanya. “Hmm, apa ada yang ditanyakan?” Tidak ada sahutan. “Sepertinya cukup ya perkenalannya.”

Joon mundur lagi ke tempatnya semula dan melihat kepada Pak Salimi—tanda dia sudah selesai memperkenalkan diri.

“Nah, Joon, karena bangku yang tersisa cuma ada di sebelah Hana, mau nggak mau, kamu harus duduk di sana. Hana, tolong Joon, jangan dinakali ya,” tukas Pak Salimi, tersenyum-senyum nakal, diiringi derai tawa seisi kelas. Membuat diriku tersipu malu.

Joon berjalan ke arahku. Aku melihatnya. Dia melihatku. Dan segera duduk persis di sebelahku. Cewek-cewek lain pasti iri denganku. Hatiku dag-dig-dug-der-daiya melihat Joon duduk di sebelahku. Tapi, aku sudah bisa bersikap bagaimana caranya menghadapi cowok. Walaupun, aku tidak secantik Yoona SNSD, beberapa cowok di sekolah ini “memburuku” untuk dijadikan kekasih. Yeah, meskipun pada akhirnya aku menolak, baik secara halus maupun secara tegas. Bukan aku pilih-pilih. Tidak seorang cowok pun di sekolahku, berhasil mencuri hatiku.

Namun, untuk cowok satu ini, aku memberikan pengecualian. Bahkan, saat kali pertama melihatnya berdiri di depan kantor guru, hatiku telah tercuri olehnya. Aku jadi teringat lagu Pencuri Hati yang dinyanyikan Gisel.
Kepadamu pencuri hatiku, yang tak kusangka kan datang secepat ini.

Ya, aku juga tidak menyangka jika secepat ini Joon mencuri hatiku.

Sesaat setelah duduk di sebelahku, wajah Joon mendekati wajahku. Membuatku grogi setengah hidup. Dia bertanya, “Kamu, Hana kan?”

Aku tergeragap, namun berusaha tetap tenang. “Ya,” sahutku.

Mataku memperhatikan penjelasan Pak Salimi dalam membicarakan angka-angka. Padahal, pikiranku sama sekali tidak konsentrasi.

“Namanya, cantik. Secantik orangnya!”

“Hahaha…” aku terkekeh pelan.

“Kapan-kapan mau jadi modelku ya?”

“Model?” Aku mengernyitkan dahi, “Kamu pelukis?”

Joon menggeleng. “Aku perupa.”

Aku hanya bisa ber-oh dengan pelan. Takut Pak Salimi mendengar.

***

Enam bulan kemudian.

Mungkin aku jadi gadis di sekolahku yang paling berutung, karena mendapatkan Joon. Bagaimana tidak? Di saat cewek-cewek di sekolah ini mengantri menjadi pacarnya, Joon justru mengacuhkan mereka dan lebih memilihku. Aku bahagia? Tentu saja.

Selama dua bulan ini, kujalani hari-hari dengan bahagia. Joon memang tidak seperti cowok-cowok lain yang kukenal. Dia gentleman, penyayang, dan sabar dalam menghadapiku. Karena itu, aku makin mencintainya dan tidak ingin kehilangannya.

Hanya saja…

Hingga kini, Joon masih belum mau mengenalkanku pada keluarganya. Tanda keseriusannya padaku.

“Sayang…” kataku manja.

“Iya, ada apa?” Joon bertanya lembut.

“Selama ini, kita kan sudah jadian, aku sering menceritakan tentang kehidupanku dan keluargaku. Tapi, kamu sama sekali belum membawaku ke rumahmu dan mengenalkanku dengan kedua orang tuamu.”

“Baiklah, mungkin memang sudah saatnya, aku mengenalkanmu pada mereka. Lagian, kamu kan berjanji mau jadi modelku.”

Kata-kata itu menyejukkan hatiku. Jujur saja, aku senang Joon akhirnya mau membawaku ke rumahnya. “Waaah, benarkah? Kapan kalau begitu?” aku bertanya dengan antusias.

“Lusa. Aku jemput kamu di tempat biasa ya.”

“Oke.”

Yang dimaksud tempat biasa bagi kami adalah di Kafe Nusantara. Kami berdua menyenangi tempat itu, karena makanannya cocok dengan lidah kami. Selain itu, ada WiFi juga. Jadi, sembari makan bisa sembari browsing atau sekadar buka YouTube.

***

Sesampainya di rumah Joon, aku celingak-celinguk bak orang kampung. Rumah Joon sangat be… besar. Tidak seperti yang kupikirkan sebelumnya. Sedikit banyak aku malu sekaligus merasa tersanjung. Yeah, jelek-jelek begini, ada orang kaya nan tampan macam Joon yang mencintaiku tulus apa adanya. Sebagai perupa, Joon termasuk produktif karena banyak patung-patung dipajang di sana sini di rumahnya.

“Ini semua hasil karya kamu, Joon?” tanyaku.

“Iya begitulah…” sahut Joon.

Aku kemudian memegang salah satu patung, dan tanganku berminyak. ‘Bukan batu?’ pikirku.

Seolah bisa membaca pikiranku, Joon langsung berkomentar. “Oiya, aku belum memberitahu kamu ya, kalau aku hanya tidak membuat patung dari batu. Semua patung yang kubuat terbuat dari wax.”

“Wax? Apa itu?” aku bertanya tak mengerti.

“Wax itu lilin.”

“Seperti patung lilin di Museum Wax of Madame Tussauds?”

“Tepat.”

Aku menciumi bau wax yang harumnya khas, kemudian lebih memperhatikan patung-patung yang berdiri di dinding rumah. Kebanyakan dari patung itu mengambil model orang Indonesia. Dan, hiii… entahlah, ada rasa bergidik saat aku menatap wajah patung-patung itu, terutama bagian mata. Seolah-olah patung itu hidup, berjiwa.

Seorang pelayan berpakaian tuxedo hitam menghampiri kami. Nama pelayan itu adalah Mang Odjo, demikian Joon memperkenalkannya. Mang Odjo langsung membungkuk memberi hormat padaku bak pelayan bangsawan. “Siap melayani Anda, Nona Hana.”

Mang Odjo mengatakan kepada Joon jika makanan telah tersaji di meja makan. Joon memberi isyarat dengan anggukan. Mang Odjo lantas berlalu dari hadapan kami. Joon mengajakku makan.

Aku bergelayut manja padanya. “Rumah sebesar ini hanya dihuni oleh empat orang saja?” tanyaku.
Joon tersenyum—dengan senyuman janggal yang tidak pernah kulihat sebelumnya. “Sebentar lagi tidak.”

“Eh, maksudnya?”

Joon terkekeh. “Kan sebentar lagi kamu jadi bagian dari rumah ini.”

Gantian aku yang terkekeh. “Oiya, sedari tadi, aku tidak melihat kedua orang tuamu. Kemana mereka? Kapan dikenalkan padaku?”

“Sebentarlah, Sayang. Tenang saja, jangan terburu-buru. Kita makan dulu.”

***

“Siapa yang memasak makanan ini?” tanyaku.

Joon menyahut. “Kamu melihat pelayan lain, selain Mang Odjo?”

“Wow… Mang Odjo yang memasak semua makanan ini?” Aku langsung mengacungkan dua jempol untuk Mang Odjo. “Rasanya juara, Mang.”

“Terima kasih, semua demi Anda, Nona Hana.”

Aku memakan semua makanan itu hingga tandas. Setelah tandas dengan perut kenyang, mendadak tubuhku melemas. Tapi, bukan lemas seperti biasa. Aku pun memanggil Joon dan bertanya padanya. “Joon, kenapa ini, tubuhku kok tiba-tiba melemas?”

Joon diam. Dia malah mendekatiku untuk kemudian membelaiku dengan belaian mesra. “Apa kamu mencintaiku sungguh-sungguh?” tanyanya—dengan suara sedikit berat dibandingkan biasanya. Aku sedikit aneh dengan itu, tapi kuacuhkan.

“Tentu saja. Kamu nggak percaya?”

Joon tersenyum. “Hanya memastikan. Karena, sebentar lagi aku akan mengenalkanmu dengan kedua orang tuaku. Di hadapan mereka, aku ingin menjadikanmu sebagai bagian hidupku dan rumah ini. Tak terpisahkan satu sama lain.”

“Jika, itu yang kamu inginkan. Aku bersedia.” Setelah mengucapkan itu, aku hilang kesadaran.

***

Begitu tersadar, aku berada di sebuah ruang kerja—yang lebih mirip disebut bengkel dengan peralatan yang tersebar di sana sini. Tubuhku terpancang kencang pada sebuah tiang. Di sana, ada Joon dan Mang Odjo. Pakaian mereka sudah berganti. Joon memakai baju berwarna hijau mirip dokter, sedangkan Mang Odjo memakai baju berwarna biru mirip perawat.

Aku bingung, apa yang sebenarnya tengah terjadi?

Suasana berubah horor. Bulu kuduk di tengkukku berdiri semua. Aku ingin berteriak¬—setidaknya ingin bertanya apa yang terjadi—, namun, tidak ada suara yang keluar dari dalam mulutku. Padahal, tidak ada apapun yang menyumbatnya.

Kedua mataku melihat aktivitas mereka yang sepertinya sedang mempersiapkan sesuatu. Hidungku pun mencium sesuatu, yang sepertinya sudah tidak asing lagi bagiku.

Wax!

Seruku, begitu aku berhasil mengingatnya.

Sambil bersiul-siul, Joon mendatangiku dengan tersenyum. “Sudah sadar kamu rupanya?”

Aku kembali berteriak. Namun, tidak ada suara apapun keluar dari mulutku.

Joon membaca dari kedua bola mataku. “Tenang saja, Hana, ini hanya akan berlangsung sebentar.”

“Maksudmu?”

“Kamu akan jadi milikku, selamanya.”

Joon memakai maskernya kembali. Sejurus kemudian, dia memberi isyarat kepada Mang Odjo untuk “melakukannya”.

Mataku menatap ke atas. Sebuah kuali besar, diangkat oleh mesin pengangkat ke atas kepalaku. Dalam satu detik berikutnya, isi di dalam kuali besar itu tumpah mengguyuri tubuhku. Isi kuali itu wax. Aku tahu dari baunya.

***

“Buka matamu, Sayang,” pinta Joon kepadaku.

Ketika aku membuka mata, Joon langsung memelukku dengan mesra. Kemudian, dia kembali berdiri tegak. “Dan, seperti janjiku…” Joon memberi tanda kepada Mang Odjo untuk membawa dua patung wax pria dan wanita. Dan menempatkannya di sisi Joon.

Sebelum berbicara, Joon menyatukan kedua tapak tangannya. Sesaat kemudian, dia berkata, “Hana, kuperkenalkan… Ayah, Ibuku.”

Donggg!!!

Mata kedua patung wax itu terbuka.

Aku menjerit dalam diam. “Tidak!!!”[TAMAT]

----------
Cerpen horor ini aku ikutsertakan dalam #teenHorror yang diadakan DivaPress. Tapi, karena nggak masuk nominator, akhirnya aku post di sini saja, sebagai bahan evaluasi.

Menurut kalian apa yang kurang dari cerpen ini?

0 comments:

Post a Comment